Pil Pahit itu bernama "Restorasi Meiji"
Oleh: Rifki Muhida*
Apa yang dilakukan Jepang untuk menjadi sebuah bangsa besar di dunia yang sarat dengan kemajuan iptek, merupakan sebuah fenomena transformasi bangsa yang sangat menarik dan patut dipelajari oleh bangsa Indonesia yang saat ini sedang dalam reorientasi menuju Indonesia baru. Jepang yang minim sumber daya alam, dan pernah dihancurleburkan dalam perang dunia kedua, ternyata sangat mengejutkan (dalam waktu yang singkat) muncul sebagai raksasa baru dalam iptek dan ekonomi. Barang-barang impor dari Jepang yang hi-tech dari superkomputer hingga kapal, dari merk Sony hingga Mitsubishi menjadi komoditi luas diseluruh dunia dengan nilai kompetitif yang tinggi. Tulisan ini tidak dimaksudkan menonjolkan Jepang secara berlebihan ataupun mengerdilkan bangsa kita, tetapi memberikan suatu gambaran yang positif yang sekiranya dapat kita ambil sebagai pelajaran.
Walau ekonomi Jepang sedang mengalami kondisi yang tidak menggembirakan belakangan ini dikarenakan krisis berkepanjangan negara-negara Asia, namun fundamental ekonomi Jepang yang kuat dan didukung oleh surflus perdagangan yang besar akan segera mengembalikan perekonomian negara ini ketempat semula. Penulis sendiri yang saat ini berada di Jepang mengamati dan merasakan sendiri bahwa krisis ekonomi Jepang sepertinya tidak ada, masyarakat Jepang sepertinya tidak merasakan adanya krisis tersebut. Aktivitas sosial-ekonomi, lapangan pekerjaan yang memadai, suplai barang yang lancar dan lain-lain yang berkaitan dengan gerak perekonomian berjalan normal seperti tahun-tahun sebelumnya, kalaupun ada penurunan tidak terlalu signifikan. Ini berbeda dengan yang negara kita alami saat ini, dimana krisis ekonomi berkepanjangan telah menghancurkan struktur ekonomi bangsa bahkan merobohkan tatanan dan nilai-nail sosial dimasyarakat. Mungkin beberapa alasan dapat disebutkan kenapa krisis ekonomi Jepang tidak menyebabkan negara ini terpuruk adalah; nilai yen yeng tetap stabil bahkan cendrung naik, tingkat kemakmuran yang tinggi, etos kerja dan budaya masyarakat yang kondusif, kemampuan ekspor barang teknologi yang terus meningkat, dan tidak diperlukannya pembangunan infratsruktur besar maupun investasi dibidang properti (mengingat tidak adanya peningkatan jumlah penduduk) .
Ekonomi dan Iptek saat ini telah diterima sebagai parameter untuk menentukan kemajuan suatu bangsa, namun semua itu tidak terlepas dari manusianya, Manusia adalah sentral dari suatu bangsa. Karena merupakan sentral, aspek terpenting yang melekat pada manusia itu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses pendidikan. Jadi kata kuncinya adalah pendidikan. Jepang menyadari ini sekitar 130 tahun yang lalu, diawali oleh usaha besar-besaran kaisar Meiji (1868-1912) untuk menciptakan "Jepang baru", yaitu transformasi dari negara yang terisolasi dan miskin menjadi negara yang modern yang terkenal dengan istilah "Restorasi Meiji". Sebuah doktrin penting yang mengilhami restorasi Meiji dan menjadi pandangan hidup orang Jepang tentang pentingnya pendidikan, dirumuskan pertamakali oleh Fukuzawa Yukichi, bapak pendidikan Jepang yang hidup pada zaman Meiji. Menurut Fukuzawa, kedudukan manusia dalam suatu negara harus ditentukan oleh status pendidikannya, bukan oleh nilai-nilai yang dibawa sejak lahir sebagai warisan. Atas pemikiran dan upaya yang luar biasa dari Fukuzawa dalam merestorasi pendidikan Jepang, pemerintah Jepang hingga saat ini memberikan kehormatan tertinggi dengan manampilkan gambar Fukuzawa dalam nilai tertinggi dari mata uang Jepang, sepuluh ribu yen.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Jepang dahulu sangat miskin sehingga banyak orang-orang Jepang yang "merantau" meninggalkan negaranya mencari kehidupan baru di Amerika, Brazil atau Peru yang saat itu sedang dalam proses kelahiran suatu negara. Sehingga tidak heran kalau pernah mendengar istilah "Nikei" yaitu sebutan untuk orang Amerika, Brazil, atau Peru keturunan Jepang. Sebut saja Persiden Peru Fujimori, yang dari namanya saja sudah bisa ditebak kalau dia keturunan Jepang.
Mengenai Jepang yang miskin tergambar pada sebuah Novel terkenal karya Ariyoshi Sawako yang bercerita tetang "Ubasate" yaitu kebiasaan para petani miskin Jepang yang tidak mampu memberi makan orang tuanya yang jompo karena kemiskinannya, maka orang tuanya tersebut dibawa pergi kegunung untuk dibuang. Dalam Ubasate diceritakan seorang nenek ketika digendong oleh anaknya untuk dibuang kegunung, si nenek itu berkali-kali mematahkan cabang atau ranting-ranting kayu dan membuangnya ke jalan. Ketika anaknya bertanya kepada ibunya mengapa melakukan hal itu, ibunya berkata,"Agar kamu tidak tersesat pada waktu kembali", Ketika anaknya mendengar ucapan ini, maka berlinanglah airmatanya, dan menggendong ibunya kembali pulang.
Kembali pada Restoraji Meiji, bahwa hal yang paling terpenting dari restorasi ini adalah restorasi dibidang pendidikan, yaitu mengubah sistem pendidikan dari tardisional menjadi modern (saat itu dimulai dengan mengadopsi sistem Jerman), program wajib belajar, mengirim mahasiswa Jepang untuk belajar ke luar negeri (ke Francis dan Jerman), dan meningkatkan anggaran sektor pendidikan secara drastis. Apa yang telah dilakukan Kaisar Meiji ketika itu adalah suatu keberanian yang tidak akan terpikirkan oleh para pemimpin negara kita dari era Soekarno hingga Gus Dur saat ini.
Adalah sangat menyedihkan melihat anggaran sektor pendidikan dalam APBN yang disetujui oleh DPR dari tahun ketahun yang secara prosentase sangat rendah. Rasanya kita akan terus menjadi bangsa yang terpuruk dan terbelakang sementara sumber daya alam indonesia terus saja dikuras habis oleh bangsa lain tanpa memberikan suatu nilai tambah yang berarti.
Untuk melihat hal yang nyata tentang bagaimana restorasi pendidikan dijalankan ketika itu dapat kita lihat pada Film seri "Oshin" yang sempat diputar dibeberapa stasiun televisi ditanah air bebera tahun silam. Kalau kita sedikit jeli melihat film itu, kita akan menjumpai beberapa adegan yang membuat kita terkesima, yaitu bagaimana Oshin yang ketika itu harus bekerja untuk mempertahankan hidup karena ditinggal mati suaminya, sambil menggendong anak harus mengikuti pelajaran sekolah yang letaknya jauh serta ditempat terpencil.
Saat ini wajib belajar masih dijalankan dengan ketat dijepang dari SD sampai SMA, sehingga tidak heran hampir 100 persen penduduk Jepang tamat SMA dan hampir tidak ada yang buta hurup, artinya hampir 100 persen penduduk Jepang dapat membaca kanji yang jumlahnya sekitar 3000 kanji beserta kombinasi berikut cara bacanya. Bandingkan dengan apa yang kita baca di koran harian Jawa pos beberapa waktu lalu, bahwa disebuah kabupaten di pulau Jawa sebagaimana laporan bupati kabupaten tersebut, ada lebih 50 persen pendudukanya tidak tamat SD. Bagaimana dengan kabupaten-kabupaten lain diluar Jawa, mungkin lebih parah kondisinya.
Sebagian besar lulusan SMA di Jepang melanjutkan ke universitas atau sekolah kejuruan. Ada juga universitas terbuka istilahnya "Hosyo daigaku" yang perkuliahannya dilakukan melalui TV swasta khusus selama 18 jam nonstop setiap hari, dan materinya diberikan oleh profesor-profesor yang cukup terkenal diseluruh Jepang. Prosentase lulusan S-1 yang melanjutkan S-2 sangat besar, contohnya apa yang dilakukan oleh Osaka University, hampir 70 persen mahasiswa S-1 diuniversitas ini melanjutkan S-2, dan 10 persen ke S-3.
Karena wajib belajar, uang sekolah dan fasilitas lainnya dari SD sampai SMP terutama untuk keluarga menengah kebawah menjadi kewajiban negara, beda dengan istilah wajib belajar di Indonesia yang ditempatkan sebagai retorika politik belaka. Karena wajib belajar setiap orang tua akan mendapat surat teguran bahkan sangsi kalau anaknya hingga umur 7 tahun belum dimasukkan sekolah. Pemerintah Jepang menyediakan anggaran yang sangat besar untuk pendidikan. Sebagai ilustrasi gaji guru SD disini berkisar 15 juta- 55 juta rupiah perbulan tapi tentunya disertai dengan produktifitas dan aktivitas mengajar yang tinggi. Etos kerja guru-guru Jepang bisa dilihat dari begitu sibuknya jadwal mengajar dan jadwal persiapan pengajaran, sehingga mereka harus bekerja hingga larut malam bahkan banyak yang hari minggupun harus ke sekolah untuk mempersiapkan materi pelajaran. Untuk guru TK pun mereka tidak mau ketinggalan sibuk mendatangi rumah-rumah anak didiknya untuk mengecek apakah hubungan antara anak dan orang tua harmonis, dan setiap bulan harus dilaporkan kepada kepala sekolah. Sebagai tambahan, dari TK sampai SMA dijepang belajar dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore kecuali sabtu sampai jam 12 siang yang biasa diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler. Siswa sengaja dibuat sibuk dengan tugas tugas dan pekerjaan rumah ataupun aktivitas yang yang menunjang pertumbuhan kreatifitas .
Hampir semua SD diseluruh Jepang dilengkapi kolam renang, lapangan bola/baseball, aula, fasilitas olah raga ruang tertutup (basket, bulu tangkis dll), laboratorium komputer,laboratorium fisika-kimia dan Biologi, laboratorium mesin bubut untuk membuat alat ketrampilan, laboratorium menggambar dan lain-lain. Jangan heran kalau bangunan SD disini sangat besar dan dilengkapi dengan berbagai ruangan aktivitas dan ketrampilan. Selain sekolah yang memiliki fasilitas lahan yang luas adalah taman-taman kota yang bertebaran disetiap sudut kota, hal ini sangat ironis kalau kita melihat rumah orang Jepang yang sempit dan kecil-kecil. Beberapa TK dan SD disini bahkan dilengkapi dengan fasilitas laboratorium semacam Mikroskop. Teman saya yang anaknya sekolah di TK bercerita, belakangan dia agak sulit makan karena terus diperotes oleh anaknya, setelah anaknya melihat bakteri dimikroskop.
Investasi yang ditanamkan Jepang untuk pendidkan sangat besar namun hasil yang diperolah dari investasi itu bisa berlipat-lipat, sebagaimana yang kita lihat tentang Jepang sekarang ini dengan GNP melebihi 34.000 USD (Indonesia 700 USD), semua itu dimulai dari pil jitu yang disebut restorasi Meiji.
Didukung anggaran penelitian yang sangat besar, saat ini fasilitas untuk penelitian di Jepang termasuk memadai, baik dari segi peralatan, jurnal ilmiah, buku dan profesor. Contohnya di Osaka University, mungkin tidak jauh berbeda dengan universitas negeri Jepang lainnya, untuk pembelian alat dan bahan-bahan eksperimen semuanya gratis tinggal pesan beberapa hari kemudian datang. Padahal harga barang tersebut sangat mahal yang rasanya tidak mungkin bisa dilakukan di Indonesia. Seperti seorang teman mahasiswa Indonesia program Doktor baru-baru ini yang melakukan eksperimen tentang liquid crystals yang nantinya dapat digunakan untuk layar tipis komputer atau TV memerlukan bahan kimia beberapa gram yang harganya kalau dirupiahkan sekitar 30 juta rupiah, dan hanya dipakai untuk beberapa jam penyinaran dengan laser. Namun oleh pihak universitas maupun profesor merekomendasikan mengingat arti penting penelitian itu dan hasil yang akan diperoleh dikemudian hari.
Untuk fasilitas referensi semacam jurnal ilmiah diperpustakaan maupun media elektronik hampir lengkap walau kebanyakan dalam bahasa Jepang, hampir semua jurnal internasional dari berbagai bidang tersedia dan dapat diakses di perpustakaan atau melalui internet, bahkan beberapa jurnal dari yang hampir seratus tahun lalupun ada. Penulis pernah mendapatkan jurnal asli yang ditulis Albert Einstein 96 tahun yang lalu dalam bahasa Jerman. Kebanyakan jurnal tua disini dalam bahasa Jerman karena dahulu Jepang saat restorasi Meiji banyak mengirimkan mahasiswanya ke Jerman, dan saat itu Jerman menjadi pusat pengembangan sains dan teknologi.
Jika kita tidak menemukan jurnal yang kita cari, maka pihak perpustakaan universitas akan mencarikan diseluruh perpustakaan di Jepang kalau tidak dapat diseluruh Jepang akan dicarikan diseluruh dunia, dan hanya dalam satu minggu sudah tersedia. Begitupun buku akan dicarikan atau dipinjamkan ke universitas lain, kalau tidak akan dibelikan oleh perpustakaan. Di Indonesia setengah mati sulitnya mendapatkan jurnal ilmiah, misalkan dalam satu paper ada tigapuluh referensi jurnal paling hanya tiga yang dapat, dan itu dapat membuat semangat meneliti menjadi menurun.
Jepang sendiri hampir semua bidang ilmu memiliki jurnal ilmiahnya yang sudah berjalan secara rutin sejak sekitar 80 tahun yang lalu. Misalnya jurnal Fisikawan Jepang bidang Fiska matematika, sudah dimulai sejak tahun 1920 an. Sementara di Indonesia sampai saat ini mungkin belum ada, bahkan jurnal yang sifatnya umum seperti jurnal Fisika Indonesia baru berjalan beberapa tahun dan sering tersendat-sendat, apalagi jurnal yang sifatnya khusus. Keberhasilan sistem pendidikan yang didukung dengan fasilitas dana yang memadai selain didukung oleh manajemen dan etos kerja yang tinggi membuat tingkat produktifitas peneliti Jepang menjadi tertinggi diduia. Ini bisa kita lihat dari jumlah publikasi internasional dan paten yang dihasilkan setiap tahunnya yang jumlahnya mendominasi hampir diseluruh bidang.
Jepang saat ini memiliki lebih dari 730.000 peneliti untuk 120 juta penduduk Jepang. Angka ini berlipat kali lebih besar dari jumlah peneliti Indonesia yang jumlahnya 30.000 peneliti untuk 220 juta penduduk Indonesia. Selain jumlah peneliti yang besar itu, juga kenyamanan diperoleh dari anggaran peneliti yang besar yang mencapai 3.0 % dari GDP, sementara Indonesia berkisar 0.2 % dari GDP, jauh dari standar yang di tetapkan PBB, 1.0 % dari GDP. Melihat angka-angka ini ucapan Habibie sepuluh tahun lalu, bahwa dalam 50 tahun bangsa Indonesia sudah bisa mengejar Jepang, kelihatannya hanyalah sebuah kehampaan.
Oleh: Rifki Muhida*
Apa yang dilakukan Jepang untuk menjadi sebuah bangsa besar di dunia yang sarat dengan kemajuan iptek, merupakan sebuah fenomena transformasi bangsa yang sangat menarik dan patut dipelajari oleh bangsa Indonesia yang saat ini sedang dalam reorientasi menuju Indonesia baru. Jepang yang minim sumber daya alam, dan pernah dihancurleburkan dalam perang dunia kedua, ternyata sangat mengejutkan (dalam waktu yang singkat) muncul sebagai raksasa baru dalam iptek dan ekonomi. Barang-barang impor dari Jepang yang hi-tech dari superkomputer hingga kapal, dari merk Sony hingga Mitsubishi menjadi komoditi luas diseluruh dunia dengan nilai kompetitif yang tinggi. Tulisan ini tidak dimaksudkan menonjolkan Jepang secara berlebihan ataupun mengerdilkan bangsa kita, tetapi memberikan suatu gambaran yang positif yang sekiranya dapat kita ambil sebagai pelajaran.
Walau ekonomi Jepang sedang mengalami kondisi yang tidak menggembirakan belakangan ini dikarenakan krisis berkepanjangan negara-negara Asia, namun fundamental ekonomi Jepang yang kuat dan didukung oleh surflus perdagangan yang besar akan segera mengembalikan perekonomian negara ini ketempat semula. Penulis sendiri yang saat ini berada di Jepang mengamati dan merasakan sendiri bahwa krisis ekonomi Jepang sepertinya tidak ada, masyarakat Jepang sepertinya tidak merasakan adanya krisis tersebut. Aktivitas sosial-ekonomi, lapangan pekerjaan yang memadai, suplai barang yang lancar dan lain-lain yang berkaitan dengan gerak perekonomian berjalan normal seperti tahun-tahun sebelumnya, kalaupun ada penurunan tidak terlalu signifikan. Ini berbeda dengan yang negara kita alami saat ini, dimana krisis ekonomi berkepanjangan telah menghancurkan struktur ekonomi bangsa bahkan merobohkan tatanan dan nilai-nail sosial dimasyarakat. Mungkin beberapa alasan dapat disebutkan kenapa krisis ekonomi Jepang tidak menyebabkan negara ini terpuruk adalah; nilai yen yeng tetap stabil bahkan cendrung naik, tingkat kemakmuran yang tinggi, etos kerja dan budaya masyarakat yang kondusif, kemampuan ekspor barang teknologi yang terus meningkat, dan tidak diperlukannya pembangunan infratsruktur besar maupun investasi dibidang properti (mengingat tidak adanya peningkatan jumlah penduduk) .
Ekonomi dan Iptek saat ini telah diterima sebagai parameter untuk menentukan kemajuan suatu bangsa, namun semua itu tidak terlepas dari manusianya, Manusia adalah sentral dari suatu bangsa. Karena merupakan sentral, aspek terpenting yang melekat pada manusia itu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui proses pendidikan. Jadi kata kuncinya adalah pendidikan. Jepang menyadari ini sekitar 130 tahun yang lalu, diawali oleh usaha besar-besaran kaisar Meiji (1868-1912) untuk menciptakan "Jepang baru", yaitu transformasi dari negara yang terisolasi dan miskin menjadi negara yang modern yang terkenal dengan istilah "Restorasi Meiji". Sebuah doktrin penting yang mengilhami restorasi Meiji dan menjadi pandangan hidup orang Jepang tentang pentingnya pendidikan, dirumuskan pertamakali oleh Fukuzawa Yukichi, bapak pendidikan Jepang yang hidup pada zaman Meiji. Menurut Fukuzawa, kedudukan manusia dalam suatu negara harus ditentukan oleh status pendidikannya, bukan oleh nilai-nilai yang dibawa sejak lahir sebagai warisan. Atas pemikiran dan upaya yang luar biasa dari Fukuzawa dalam merestorasi pendidikan Jepang, pemerintah Jepang hingga saat ini memberikan kehormatan tertinggi dengan manampilkan gambar Fukuzawa dalam nilai tertinggi dari mata uang Jepang, sepuluh ribu yen.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Jepang dahulu sangat miskin sehingga banyak orang-orang Jepang yang "merantau" meninggalkan negaranya mencari kehidupan baru di Amerika, Brazil atau Peru yang saat itu sedang dalam proses kelahiran suatu negara. Sehingga tidak heran kalau pernah mendengar istilah "Nikei" yaitu sebutan untuk orang Amerika, Brazil, atau Peru keturunan Jepang. Sebut saja Persiden Peru Fujimori, yang dari namanya saja sudah bisa ditebak kalau dia keturunan Jepang.
Mengenai Jepang yang miskin tergambar pada sebuah Novel terkenal karya Ariyoshi Sawako yang bercerita tetang "Ubasate" yaitu kebiasaan para petani miskin Jepang yang tidak mampu memberi makan orang tuanya yang jompo karena kemiskinannya, maka orang tuanya tersebut dibawa pergi kegunung untuk dibuang. Dalam Ubasate diceritakan seorang nenek ketika digendong oleh anaknya untuk dibuang kegunung, si nenek itu berkali-kali mematahkan cabang atau ranting-ranting kayu dan membuangnya ke jalan. Ketika anaknya bertanya kepada ibunya mengapa melakukan hal itu, ibunya berkata,"Agar kamu tidak tersesat pada waktu kembali", Ketika anaknya mendengar ucapan ini, maka berlinanglah airmatanya, dan menggendong ibunya kembali pulang.
Kembali pada Restoraji Meiji, bahwa hal yang paling terpenting dari restorasi ini adalah restorasi dibidang pendidikan, yaitu mengubah sistem pendidikan dari tardisional menjadi modern (saat itu dimulai dengan mengadopsi sistem Jerman), program wajib belajar, mengirim mahasiswa Jepang untuk belajar ke luar negeri (ke Francis dan Jerman), dan meningkatkan anggaran sektor pendidikan secara drastis. Apa yang telah dilakukan Kaisar Meiji ketika itu adalah suatu keberanian yang tidak akan terpikirkan oleh para pemimpin negara kita dari era Soekarno hingga Gus Dur saat ini.
Adalah sangat menyedihkan melihat anggaran sektor pendidikan dalam APBN yang disetujui oleh DPR dari tahun ketahun yang secara prosentase sangat rendah. Rasanya kita akan terus menjadi bangsa yang terpuruk dan terbelakang sementara sumber daya alam indonesia terus saja dikuras habis oleh bangsa lain tanpa memberikan suatu nilai tambah yang berarti.
Untuk melihat hal yang nyata tentang bagaimana restorasi pendidikan dijalankan ketika itu dapat kita lihat pada Film seri "Oshin" yang sempat diputar dibeberapa stasiun televisi ditanah air bebera tahun silam. Kalau kita sedikit jeli melihat film itu, kita akan menjumpai beberapa adegan yang membuat kita terkesima, yaitu bagaimana Oshin yang ketika itu harus bekerja untuk mempertahankan hidup karena ditinggal mati suaminya, sambil menggendong anak harus mengikuti pelajaran sekolah yang letaknya jauh serta ditempat terpencil.
Saat ini wajib belajar masih dijalankan dengan ketat dijepang dari SD sampai SMA, sehingga tidak heran hampir 100 persen penduduk Jepang tamat SMA dan hampir tidak ada yang buta hurup, artinya hampir 100 persen penduduk Jepang dapat membaca kanji yang jumlahnya sekitar 3000 kanji beserta kombinasi berikut cara bacanya. Bandingkan dengan apa yang kita baca di koran harian Jawa pos beberapa waktu lalu, bahwa disebuah kabupaten di pulau Jawa sebagaimana laporan bupati kabupaten tersebut, ada lebih 50 persen pendudukanya tidak tamat SD. Bagaimana dengan kabupaten-kabupaten lain diluar Jawa, mungkin lebih parah kondisinya.
Sebagian besar lulusan SMA di Jepang melanjutkan ke universitas atau sekolah kejuruan. Ada juga universitas terbuka istilahnya "Hosyo daigaku" yang perkuliahannya dilakukan melalui TV swasta khusus selama 18 jam nonstop setiap hari, dan materinya diberikan oleh profesor-profesor yang cukup terkenal diseluruh Jepang. Prosentase lulusan S-1 yang melanjutkan S-2 sangat besar, contohnya apa yang dilakukan oleh Osaka University, hampir 70 persen mahasiswa S-1 diuniversitas ini melanjutkan S-2, dan 10 persen ke S-3.
Karena wajib belajar, uang sekolah dan fasilitas lainnya dari SD sampai SMP terutama untuk keluarga menengah kebawah menjadi kewajiban negara, beda dengan istilah wajib belajar di Indonesia yang ditempatkan sebagai retorika politik belaka. Karena wajib belajar setiap orang tua akan mendapat surat teguran bahkan sangsi kalau anaknya hingga umur 7 tahun belum dimasukkan sekolah. Pemerintah Jepang menyediakan anggaran yang sangat besar untuk pendidikan. Sebagai ilustrasi gaji guru SD disini berkisar 15 juta- 55 juta rupiah perbulan tapi tentunya disertai dengan produktifitas dan aktivitas mengajar yang tinggi. Etos kerja guru-guru Jepang bisa dilihat dari begitu sibuknya jadwal mengajar dan jadwal persiapan pengajaran, sehingga mereka harus bekerja hingga larut malam bahkan banyak yang hari minggupun harus ke sekolah untuk mempersiapkan materi pelajaran. Untuk guru TK pun mereka tidak mau ketinggalan sibuk mendatangi rumah-rumah anak didiknya untuk mengecek apakah hubungan antara anak dan orang tua harmonis, dan setiap bulan harus dilaporkan kepada kepala sekolah. Sebagai tambahan, dari TK sampai SMA dijepang belajar dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore kecuali sabtu sampai jam 12 siang yang biasa diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler. Siswa sengaja dibuat sibuk dengan tugas tugas dan pekerjaan rumah ataupun aktivitas yang yang menunjang pertumbuhan kreatifitas .
Hampir semua SD diseluruh Jepang dilengkapi kolam renang, lapangan bola/baseball, aula, fasilitas olah raga ruang tertutup (basket, bulu tangkis dll), laboratorium komputer,laboratorium fisika-kimia dan Biologi, laboratorium mesin bubut untuk membuat alat ketrampilan, laboratorium menggambar dan lain-lain. Jangan heran kalau bangunan SD disini sangat besar dan dilengkapi dengan berbagai ruangan aktivitas dan ketrampilan. Selain sekolah yang memiliki fasilitas lahan yang luas adalah taman-taman kota yang bertebaran disetiap sudut kota, hal ini sangat ironis kalau kita melihat rumah orang Jepang yang sempit dan kecil-kecil. Beberapa TK dan SD disini bahkan dilengkapi dengan fasilitas laboratorium semacam Mikroskop. Teman saya yang anaknya sekolah di TK bercerita, belakangan dia agak sulit makan karena terus diperotes oleh anaknya, setelah anaknya melihat bakteri dimikroskop.
Investasi yang ditanamkan Jepang untuk pendidkan sangat besar namun hasil yang diperolah dari investasi itu bisa berlipat-lipat, sebagaimana yang kita lihat tentang Jepang sekarang ini dengan GNP melebihi 34.000 USD (Indonesia 700 USD), semua itu dimulai dari pil jitu yang disebut restorasi Meiji.
Didukung anggaran penelitian yang sangat besar, saat ini fasilitas untuk penelitian di Jepang termasuk memadai, baik dari segi peralatan, jurnal ilmiah, buku dan profesor. Contohnya di Osaka University, mungkin tidak jauh berbeda dengan universitas negeri Jepang lainnya, untuk pembelian alat dan bahan-bahan eksperimen semuanya gratis tinggal pesan beberapa hari kemudian datang. Padahal harga barang tersebut sangat mahal yang rasanya tidak mungkin bisa dilakukan di Indonesia. Seperti seorang teman mahasiswa Indonesia program Doktor baru-baru ini yang melakukan eksperimen tentang liquid crystals yang nantinya dapat digunakan untuk layar tipis komputer atau TV memerlukan bahan kimia beberapa gram yang harganya kalau dirupiahkan sekitar 30 juta rupiah, dan hanya dipakai untuk beberapa jam penyinaran dengan laser. Namun oleh pihak universitas maupun profesor merekomendasikan mengingat arti penting penelitian itu dan hasil yang akan diperoleh dikemudian hari.
Untuk fasilitas referensi semacam jurnal ilmiah diperpustakaan maupun media elektronik hampir lengkap walau kebanyakan dalam bahasa Jepang, hampir semua jurnal internasional dari berbagai bidang tersedia dan dapat diakses di perpustakaan atau melalui internet, bahkan beberapa jurnal dari yang hampir seratus tahun lalupun ada. Penulis pernah mendapatkan jurnal asli yang ditulis Albert Einstein 96 tahun yang lalu dalam bahasa Jerman. Kebanyakan jurnal tua disini dalam bahasa Jerman karena dahulu Jepang saat restorasi Meiji banyak mengirimkan mahasiswanya ke Jerman, dan saat itu Jerman menjadi pusat pengembangan sains dan teknologi.
Jika kita tidak menemukan jurnal yang kita cari, maka pihak perpustakaan universitas akan mencarikan diseluruh perpustakaan di Jepang kalau tidak dapat diseluruh Jepang akan dicarikan diseluruh dunia, dan hanya dalam satu minggu sudah tersedia. Begitupun buku akan dicarikan atau dipinjamkan ke universitas lain, kalau tidak akan dibelikan oleh perpustakaan. Di Indonesia setengah mati sulitnya mendapatkan jurnal ilmiah, misalkan dalam satu paper ada tigapuluh referensi jurnal paling hanya tiga yang dapat, dan itu dapat membuat semangat meneliti menjadi menurun.
Jepang sendiri hampir semua bidang ilmu memiliki jurnal ilmiahnya yang sudah berjalan secara rutin sejak sekitar 80 tahun yang lalu. Misalnya jurnal Fisikawan Jepang bidang Fiska matematika, sudah dimulai sejak tahun 1920 an. Sementara di Indonesia sampai saat ini mungkin belum ada, bahkan jurnal yang sifatnya umum seperti jurnal Fisika Indonesia baru berjalan beberapa tahun dan sering tersendat-sendat, apalagi jurnal yang sifatnya khusus. Keberhasilan sistem pendidikan yang didukung dengan fasilitas dana yang memadai selain didukung oleh manajemen dan etos kerja yang tinggi membuat tingkat produktifitas peneliti Jepang menjadi tertinggi diduia. Ini bisa kita lihat dari jumlah publikasi internasional dan paten yang dihasilkan setiap tahunnya yang jumlahnya mendominasi hampir diseluruh bidang.
Jepang saat ini memiliki lebih dari 730.000 peneliti untuk 120 juta penduduk Jepang. Angka ini berlipat kali lebih besar dari jumlah peneliti Indonesia yang jumlahnya 30.000 peneliti untuk 220 juta penduduk Indonesia. Selain jumlah peneliti yang besar itu, juga kenyamanan diperoleh dari anggaran peneliti yang besar yang mencapai 3.0 % dari GDP, sementara Indonesia berkisar 0.2 % dari GDP, jauh dari standar yang di tetapkan PBB, 1.0 % dari GDP. Melihat angka-angka ini ucapan Habibie sepuluh tahun lalu, bahwa dalam 50 tahun bangsa Indonesia sudah bisa mengejar Jepang, kelihatannya hanyalah sebuah kehampaan.
*Rifki Muhida, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Fisika Teori di Osaka University, Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar